SEJARAH DINAMIKA ISRAEL
Seperti kita ketahui, negara Israel yang berdiri pada tahun 1948 sepenuhnya mendapat dukungan Inggris, setelah 30 tahun sebelumnya didahului oleh Deklarasi Balfour November 1917 yang menyatakan bahwa pada suatu saat negara Zionisme harus menjadi kenyataan.
Arthur James Balfour (1848 – 1930) dari Partai Konservatif, pernah menjabat perdana menteri Inggris dan sebagai menteri luar negeri pada saat Deklarasi Balfour itu dikeluarkan. Isi pokok deklarasi ini adalah sebuah janji bahwa di tanah Pelestina akan didirikan sebuah negara Zionisme.
Balfour telah berupaya mendapat sokongan dari beberapa negara Barat, khususnya Amerika Serikat untuk proyek itu. Dengan demikian, Inggris sangat berjasa bagi berdirinya negara Israel ditengah bangsa Arab yang sering tak berdaya karena perpecahan yang selalu saja melanda dunia Arab.
John Rose, dosen sosiologi pada Southwork College dan Universitas Metropolitan London, yang menentang terhadap proyek Zionisme yang ekspansionisme dengan mengorbankan orang Arab setengah abad yang lalu, menyatakan dalam tulisannya (dalam artikelnya berjudul “Why Zionism is Wrong”): “Ideologi resmi negara Israel, Zionisme, telah menjadi malapetaka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi orang Arab, yang mengabaikan sejarah hidup berdampingan secara damai yang pada masa dulu merupakan norma di seluruh Timur Tengah. Zionisme mengklaim bahwa orang Yahudi punya hak untuk kembali ketanah itu dimana agama mereka, Yudaisme, berakar, dengan tujuan menciptakan sebuah negara Yahudi eksklusif. Tanah Palestina adalah sebuah pusat penting dari 3 agama monoteisme yang akarnya terdapat di Timur Tengah : Yudaisme, Kristen dan Islam. Tak satupun di antara mereka dapat menyatakan klaim ekslusif sebagai pemilik tanah itu.”
Rose membantah klaim Zionisme yang mengaku bahwa Imperium Romawi telah meruntuhkan kuil Yahudi di Yerusalem pada tahun 70 M. Kenyataannya, sebagian besar orang Yahudi sudah tinggal di luar tanah Palestina pada masa Imperium Romawi itu. Sepanjang masa Imperium Romawi dan sesudahnya, diaspora Yahudi telah berkembang. Terdapat, misalnya, pusat kerajinan tangan mereka di kota Iskandaria, Mesir, jauh sebelum berdirinya Imperium Romawi. Juga terdapat pusat agama Yahudi di Babilonia, mulai 500 tahun sebelum Imperium Romawi dan masih berlangsung ratusan tahun sesudah itu. Kehidupan orang Yahudi di lingkungan non-Yahudi telah membentuk basis yang real dan dinamis bagi sejarah Yahudi.
Di Eropa, diabad pertengahan umat Kristen telah membinasakan orang-orang Yahudi karena alasan agama dan ekonomi. Di abad pertengahan tersebut, orang Yahudi punya peran dagang ekonomi yang istimewa. Mereka tak diizinkan punya tanah, tetapi sebagai pedagang dan saudagar, mereka melayani ekonomi feodal yang tertutup. Penguasa Kristen Eropa telah menggunakan dan menyalahgunakan mereka. Tidak jarang orang Yahudi diberi hak istimewa dan ini telah memicu keresahan di kalangan petani. Juga, ini berarti bahwa orang-orang Yahudi telah dijadikan kambing hitam terbaik bagi penguasa bila saja pemerasan mereka atas petani menimbulkan kerusuhan dan kegoncangan yang meluas. Protes anti-Semitisme (anti Yahudi) marak di mana-mana.
Era pencerahan dan revolusi-revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18 telah meletakkan dasar dalam mengatasi kecenderungan anti-Semitisme. Revolusi-revolusi ini telah menjamin hak-hak sama yang resmi bagi orang-orang Yahudi, sekalipun mereka harus berjuang untuk pelaksanaannya. Gesekan kreatif antara Yudaisme yang terbebaskan dan Gerakan Pencerahan telah melahirkan pemikiran (minds) besar Eropa abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti Karl Marx, Sigmund Freud, dan Albert Einstein. Kultur Eropa telah diperkaya oleh sumbangan tokoh-tokoh Yahudi itu.
Akar Zionisme yang berkembang kemudian semula berawal di Eropa Timur. Di akhir abad ke-19, lebih dari separuh orang Yahudi sedunia hidup di tengah-tengah imperium Tsar Rusia yang sedang oleng. Modernisasi Eropa menantang penguasa-penguasa feodal ini. Revolusi mengancam untuk menghabisi mereka dan orang-orang Yahudi dijadikan kambing hitam.
Tsar Rusia telah berlaku kejam terhadap orang Yahudi. Maka dimulailah orang-orang Yahudi pindah ke Eropa Barat dan Amerika. Tetapi, di antara mereka ada kelompok kecil yang menerima imbauan yang sedang muncul dari kaum Zionis (untuk mendirikan negara Zionisme di tanah Palestina), sehingga pergilah mereka ke Palestina.
Dengan kejadian ini bermulailah sebuah sejarah panjang yang kemudian berdarah-darah antara Yahudi di Palestina dan bangsa Arab. Sampai di awal abad ke 21 ini, perdamaian abadi belum menjadi kenyataan di kawasan itu. Amerika dan Eropa Barat punya kepentingan strategis terhadap negara Zionis Israel.
Pendatang Yahudi dari Eropa Timur ini merupakan inti pendudukan Zionis di Palestina. John Rose menulis: “Zionisme adalah sebuah gerakan kolonial yang didukung oleh kekuatan-kekuatan imperial Barat.”
Pendatang-pendatang Zionis mulailah menggusur petani-petani Arab yang telah mengerjakan tanah selama berabad-abad di sana. Zionisme adalah juga sebuah proyek imperialisme Barat. Inggris menduduki Palestina sebagai buah kemenangannya dalam Perang Dunia I. Winston Churchil pada tahun 1921 mengatakan : “Zionisme baik bagi Yahudi dan baik bagi Imperium Inggris.”
Pasca-Perang Dunia (PD) II, Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dominan di kawasan itu, dan selalu mendukung Israel. Presiden Ronald Reagen tahun 1981 menjelaskan: “Dengan sebuah militer yang berpengalaman tempur, Israel adalah sebuah kekuatan di Timur Tengah yang sungguh bermanfaat bagi kita. Sekiranya tidak ada Israel dengan kekuatan itu, kita harus menyuplainya dengan kekuatan sendiri !”
Di akhir abad ke-20, Amerika telah mengucurkan dana sebesar 100 miliar dolar AS demi mendukung Israel. Karena dukungan dahsyat inilah Israel tetap bertahan, tetapi untuk berapa lama ?
Usai PD II, pihak Zionis menjadikan peristiwa pembinasaan Nazi terhadap orang-orang Yahudi di Eropa sebagai pembenaran terbentuknya negara Israel tahun 1948. Ini samasekali tidak dapat dibenarkan. Nazi yang punya ulah, mengapa tanah Palestina yang dikorbankan ? Pada saat itu hampir 1 juta rakyat Palestina dipaksa meninggalkan tanah airnya bagi terwujudnya negara Israel itu. Dengan kata lain, rakyat Palestina diharuskan membayar ongkos pembunuhan Nazi terhadap Yahudi. Cara yang semacam ini tidak lain adalah penyalahgunaan memori yang serius terhadap salah satu kejahatan yang paling buruk dalam sejarah !
Struktur negara Zionis menghalangi sebuah perdamaian yang wajar karena ia memberikan keistimewaan kepada orang Yahudi atas pengorbanan orang Arab. Hubungan Arab-Yahudi jauh lebih baik sebelum kedatangan pendukung Zionis, sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari masa lampau. Bahkan, seorang sarjana sayap kanan Yahudi, Bernard Lewis, mengakui apa yang disebutnya “simbiosis” Arab Islam-Yahudi pada puncak peradaban Islam, sebuah hubungan yang subur antara kedua bangsa dan sebuah kultur “Islamic-Judeo” telah terbentuk.
Di Irak misalnya, pasca-PD II, ada pemberontakan massal, al-Wathbah/Lompatan, terhadap pemerintahan monarkis boneka. Tidak sedikit anak muda Yahudi Irak yang terlibat dalam pemberontakan itu, bahkan kaum Zionis mengakui “era persaudaran” ini, sedangkan gagasan untuk pindah ke Palestina pada waktu itu masih terlihat “jauh”. Amat disayangkan, pemberontakan ini dikalahkan, kemudian kaum Zionis, Amerika, Inggris, dan pemerintah Irak memaksa penduduk kuno Yahudi itu hijrah ke Israel. Ini adalah tragedi yang hanya sedikit dikenal pada abad yang lalu.
Di awal abad lalu, tidak kurang dari sepertiga di antara 100 pemusik puncak Irak adalah orang Yahudi. Bukankah semuanya ini sedikit dapat dijadikan sinar untuk meneropong masa depan yang sangat berbeda ?
Banyak orang berharap bahwa Amerika di bawah pemerintahan Barack Obama akan mau belajar secara cerdas dan jernih dalam upaya turut menciptakan sebuah dunia yang lebih damai, termasuk penyelesaian sengketa Arab-Israel. Jelas tidak mudah karena trauma sejarah yang begitu gelap telah menghantui dunia Arab yang selalu merasa ditipu pihak Barat dan Zionis.
Sisi lain, perpecahan yang terus melanda dunia Arab pasti menguntungkan pihak Zionis untuk terus bercokol di tanah Palestina. Tetapi, siapa tahu dengan pendapat (tulisan) dari John Rose di atas, dunia beradap akan tersentak, karena ternyata hubungan Arab-Yahudi pra-Zionime pernah bagus dan saling mengisi.
Tanah Palestina yang dirampas Israel mulai tahun 1946 – 2000
Zionisme adalah sebuah gerakan politik internasional kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk membangun kembali tanah air mereka di tanah Palestina (bahasa Yahudi: Eretz Yisra’el).
Gerakan politik zionis pertama kali dirintis pada akhir abad 19 oleh seorang jurnalis Yahudi Austria, Mathias Acher (1864-1937), dengan tujuan membangkitkan semangat orang-orang Yahudi di perantauan (migrant) untuk mewujudkan “Tanah Air Yang Dijanjikan” (Promised Land).
Gerakan ini di organisasi oleh beberapa tokoh Yahudi lainnya seperti Dr Theodor Herrzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya “Der Juden” (Negara Yahudi) (1896).
Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897. Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948, maka tujuan kaum zionis berubah menjadi pembela negara baru ini. Hampir 40% dari seluruh penduduk Yahudi di dunia berada di negara Israel.
SUMBER :
Dicuplik dan diedit dari artikel berjudul “John Rose tentang Zionisme” oleh Ahmad Syafii Maarif, harian Republika - 9 dan 16 Desember 2008. Wikipedia. http://www.nytimes.com/slideshow/2008/12/27/world/20081227-gaza_index.html
Sabtu, 03 Januari 2009
NEGARA ZIONIS ISRAEL
Diposting oleh kekuatan.perubahan di 1/03/2009 08:46:00 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar